CERPEN
“VALENTINE FOREVER”
"Enggak kerasa ya sudah setahun lewat."
"Iya, tau-tau udah Februari."
"Sekarang tanggal tiga belas."
"Besok empat belas, udah valentine."
Lurie dan Alex terdiam. Dari atas menara Eiffel, mereka menatap kota Paris yang terhampar di bawah. Lampu-lampu kota berkerlap-kerlip menggoda. Jalan-jalan penuh dengan kendaraan yang merayap.
Saat itu, warga Paris yang merasa kotanya amat romantis tengah sibuk menyambut hari kasih sayang. Café-cafe dan tempat nongkrong ditata lebih cantik dari hari-hari biasa. Kue cokelat dan krim berbentuk hati sudah dipajang di etalase-etalase toko kue. Bunga-bunga mawar dibungkus plastik dijual per tangkai di sudut¬sudut jalan yang ramai.
"Gue gak mau kita ngerayain valentine di tempat yang udah pernah," Lurie berkata lagi.
"Jadi, tahun ini kita ngerayainnya di mana?"
"Jangan di sini lagi. Dua tahun lalu, kita udah ngerayain valentine di Paris."
"Kalo gitu enaknya di mana?"
"Ya, pikirin dong."
"Ini lagi dipikirin. Tapi kan gak gampang dapet ide ngerayain valentine di mana yang oke."
"Enggak cuma tempatnya oke, suasananya harus romantis. Gue gak mau ngerayain valentine di piramid. Serem!"
"Ngapain juga ngerayain valentine di piramid? Lagian di Mesir
siang panas banget. Malem dingin gak ketulungan. Gak banget!" "Anu, Lex." Luri menepuk bahu Alex. "Coba inget-inget dulu." "Apaan?"
"Perayaan valentine kita yang paling romantis menurut lo di mana?"
Alex berpikir. Sejenak.
"Sepertinya yang di Venesia romantis juga."
"Gue juga suka. Gue masih inget malam hari kita naik gondola nyusurin kanal-kanal. Sayang romantisnya gak perfect." Lurie tiba-tiba tertawa. "Gue ilang feeling waktu ngedenger pengayuh gondolanya nyanyi. Fals banget."
"Iya. Tapi dia ngotot harus nyelesain nyanyi satu lagu."
"Kalo dia nyanyi dua lagu, gue dorong dia sampe kecebur di kanal."
"Mungkin dia takut lu ceburin makanya dia nyanyi satu lagu doang."
"Hmmm.... Di Venesia itu lumayan oke. Yang di London menurut lo gimana?"
"Sebenernya asyik juga. Tapi gue gak suka ngeliatin jam Big Ben dari Sungai Thames. Mana London serem. Banyak hantunya." "Lebih asyik di Sidney ya?"
Lurie mengiyakan. "Jalan-jalan di opera house oke banget. Sidney salah satu kota favorit gue."
"Kalo New York?"
"Perasaan gue, orang New York gak peduli valentine deh. Masa valentine clubbing doang? Usai jingkrak-jingkrak pada teler? Gak oke banget!"
"Eh, lo mau sttasana valentine yang beda? Ke Cina aja kalo mau beda."
"Males. Ke Glodok di Indonesia aja udah serasa ke Cina." "Beda lagi. Kalo ke Jepang gimana?"
"Apa asyik?"
"Ya, belum tau. Kita kan belum pernah ke sana."
***
Turun dari menara Eiffel, Alex dan Lurie menyusuri taman. "Ke Champs Elysees yuk?"
"Ke sana lagi? Kan dua hari lalu kita udah jalan-jalan di sana seharian?" Mereka sudah menghabiskan waktu berdua di kota ini selama seminggu. Dalam suasana santai, Alex dan Lurie melakukan apa yang mereka suka.
"Menjelang valentine begini, suasana di Champs Elysess pasti asyik. Sambil jalan, kita bisa nyari ide besok mau ngerayain valentine di mana."
"Dari sini ke Champs Elysees naik apa? Subway?"
"Ya, iya lah. Masa terbang?"
"Jauh, Lur. Lagian mau ngapain di sana? Window shopping doang?"
Alex ingat. Champs Elysees adalah pusat perbelanjaan Paris yang dipenuhi kumpulan toko, café, dan butik-butik mewah. Lurie
senang sekali keluar-masuk butik terkenal. Gucci, Versace, Yves Saint Laurent, Prada, Louis Vitton, Armani, Chanel, dan rnasih ratusan lagi butik ternama. Selain suka mengamati baju-baju karya perancang ternama, Lurie bisa lama tak beranjak menatap jajaran parfum. "Kalo gue hirup wangi parfumnya, mereka gak tau kali ya?" kata Lurie waktu itu. Alex hanya tertawa karena dia mengerti apa maksud Lurie.
Tapi Alex enggak mood mau ke Champs Elysees lagi.
"Masa ke sana lagi, Lur? Mending cari suasana lain deli. Jalan¬jalan di sekitar taman sini juga oke."
Lurie tahu kalau sudah ngomong begitu, Alex susah diajak kompromi. Lagian, benar ucapan Alex. Kenapa dia enggak menikmati suasana taman di sekitar Eiffel?
Beberapa pasangan yang dimabuk cinta tampak berjalan santai bermesraan. Banyak yang cuek saling berciuman dan tak risih diperhatikan orang. Bahkan, seorang cewek berambut blonde terpekik genit kala cowoknya yang botak ngelabain dia di jalan.
Sshttt, jangan kasih tau orang Prancis ya? Menurut Lurie, cowok-cowok Prancis enggak oke seperti cerita di buku-buku atau film. Cowok-cowok Prancis ternyata jauh lebih banyak yang jelek daripada yang keren. Udah itu, rata-rata urakan dan gak peduli penampilan. Gak seperti cewek-cewek Prancis yang modis dan manis.
"Sepertinya kita doang yang keluar gak pake mantel atau jaket." Alex mengamati orang yang lalu-lalang.
Dia mengenakan celanajins dengan atasan kemeja rapi berwarna hitam. Lurie mengenakan baju terusan bahu terbuka berwarna pink yang girlie banget.
"Gue valentine banget ya, Lex?" Lurie sadar Alex menganrali bajunya.
"Valentine forever." Alex nyengir.
"Udah ah. Tiap tahun ngebahas valentine forever melulu. Burn a II lo cari ide kita pergi ke mana. Gue mau lewat tengah malam kita udah di tempat tujuan." Lurie memegang tangan Alex.
Alex terperanjat. "Kalo gitu, kita harus buru-buru ke bandana sekarang. Entar kita mau terbang ke negara mana aja masih sempat."
"Masa ke bandara naik subway lagi? Naik taksi aja."
"Terserah. Can aja kira-kira taksi mana yang mau ke bandara." Beberapa taksi lewat. Baru pada taksi kelima, Alex mendapatkan yang mereka inginkan.
Buru-buru mereka naik. Sopir taksinya, seorang lelaki Prancis botak dengan perut gendut, menyetel lagu-lagu cinta berbahasa Prancis.
"Sopirnya romantis juga."
"Iya. Lagunya pas banget."
Sepanjang perjalanan, Alex dan Lurie berpelukan.
"Lo inget gak? Kalo di Indonesia, menjelang valentine gini radio- radio pasti nyetel lagu Lady Valentine ama My Funny Valentine." "Iya. Jadul banget."
"Kok jadi inget Indonesia ya?"
"Udah, jangan dipikirin. Entar lo sedih lagi."
Akhirnya, tiba juga keduanya di bandara internasional Prancis, Charles de Gaulle.
Lurie dan Alex bingung lagi. Orang yang lalu-lalang ramai banget. Papan jadwal penerbangan yang penuh dengan jam terbang dan kota tujuan membuat mereka semakin bingung menentukan pilihan. Hongkong? Tokyo? Los Angeles? Hawaii? Nairobi? Berlin? Atau Ottawa?
"Kita sebenarnya mau ke mana?"
Lurie nyengir. Dia tau el-c alias Los Angeles sebelahan ama Hollywood. "Kalo gitu, kita ikutin dia."
***
Kala semua penumpang antre hendak naik ke pesawat menuju Los Angeles, Alex dan Lurie sudah masuk lewat belakang pesawat. Pramugari cantik yang bertugas di pinto belakang, ternyata seorang cewek negro. Wajahnya amat manis.
Alex iseng menarik baju si pramugari. "Tumben, negronya cantik bener."
"Iseng amat sih?!" Lurie memukul Alex.
Cewek negro itu seperti merasakan tarikan Alex ke bajunya. Ia menoleh mencari siapa yang sudah iseng kcpadanya. Alex buru¬buru ngumpet di bangku penumpang.
Untungnya, penumpang lain sudah mulai masuk ke pesawat. Sang pramugari negro buru-buru ikut membantu temannya yang lain menunjukkan bangku sesuai dengan nomor yang tertera di tiket para penumpang.
"Kursinya bakal penuh semua gak, Lex?" Lurie gelisah melihat penumpang cukup banyak.
"Sepertinya iya. Kalo ada yang kosong, paling kita dapet bangku misah."
"Gue gak mau kita duduk misah."
"Kita di cockpit aja yuk. Dekat pilot."
"Mana ada bangku kosong di cockpit?"
"Kita berdiri aja dulu. Nanti kalo pegel berdiri, barn nyari bangku di mana kek."
Selama penerbangan, Alex dan Lurie saling berpelukan di cockpit sambil menatap ke langit malam yang terbentang luas. Pilot.
dan co-pilotnya cuek aja seperti tak terganggu dengan kemesraan keduanya. Begitu banyak tombol dan panel yang dihadapi pilot di cockpit sehingga Alex sempat khawatir gimana kalo pilotnya salah tekan tombol. Tapi kekhawatirannya tak beralasan. Pesawat terbang dengan lancar, begitu kencang, mulus menembus kegelapan awan di malam hari.
"Dunia ternyata luas banget ya, Lex?" Lurie menatap takjub hamparan bintang di depannya. Dan angkasa, pemandangan langit di waktu malam jauh lebih indah daripada kita melihatnya dari darat.
"Kita mujur bisa pergi ke tempat mana yang kita mau."
"Itu untungnya keluarga gue punya usaha penerbangan," ujar Lurie. Detik berikutnya dia kelihatan sedih. "Sayang Papa udah pensiun dan mulai sakit-sakitan."
"Udah, jangan dipikirin." Alex inembelai rambut kekasihnya. "Papa ama Mama lo di Indonesia pasti gak ngelupain lo, meskipun mereka gak tau kita sekarang di mana."
***
Los Angeles. Kota para malaikat.
Pesawat mendarat menjelang subuh.
"Gila yaAmrik. Semua kotanya modern banget."Alex mengagumi semua yang dilihatnya. Subuh di Amerika menyemburatkan warna kelabu oranye yang unik di langit. Latar belakang gedung modern membuat kota semakin indah dipandang.
Dari bandara, mereka mencari-cari kendaraan mana yang kira-kira hendak menuju Hollywood.
"Lex." Lurie menggamit Alex. "Tuh."
Alex menatap sosok seorang lelaki bule gagah berambut hitam cepak.
"The Rock?" Alex melongo. Dia tak yakin apakah benar-benar melihat The Rock yang jagoan smack down dan belakangan tenar sebagai pemain film action. Sosok gagah itu dikawal tiga bodyguard yang gayanya lebih sombong dari orang yang dikawal. Mereka memasuki sebuah limousine hitam yang sudah menunggu. Ada sopir berpakaian jas dan topi yang super rapi memberi hormat sambil membukakan pintu.
Tanpa menoleh ke arah orang-orang yang memperhatikan, lelaki atletis itu langsung masuk mobil. Para pengawalnya ikut naik.
"Ikut mobil dia aja. Siapa tau dia ke Hollywood!" Alex menarik Lurie.
Mereka bisa masuk ke dalam mobil tanpa ketahuan. Itu hebatnya limousine. Karena ukurannya yang panjang dan luas, penumpang di dalamnya bisa duduk lega tak perlu desak-desakan.
"Yah, dia tidur." Lurie kecewa karena bule yang dikaguminya langsung molor di bangku empuk nan panjang. "Pantesan badan gede. Tidur mulu!"
"Kalo badan gede kebanyakan tidur, gak bakal berotot kayak dia. Mungkin dia kecapekan abis dari mana."
"Mobil ini ke mana ya kira-kira?"
"Mungkin The Rock mau pulang ke rumahnya. Atau dia ada syuting di Hollywood? Mana gue tau."
Lurie asyik mengamati pemandangan di luar. Deretan gedung bertingkat Los Angeles terlihat. Sekilas, Lurie yang sudah nyaris keliling Amerika tak bisa membedakan antara kota besar Amerika yang satu dengan yang lain. Downtown atau pusat kota semuanya dipenuhi gedung bertingkat yang amat modern. Tanpa landmark atau bangunan penanda kota, semua kota itu nyaris sama.
The Rock tetap tidur sepanjang perjalanan. Bodyguard-nya nyantai minum-minum dan makan dari persediaan di kulkas dalam mobil. Mereka sambil nonton TV yang menyiarkan lagu-lagu MTV dengan suara perlahan.
Dari sikap santai para bodyguard, Alex dan Lurie yakin para pengawal tak melihat mereka nyelip di limousine. Alex jadi iseng merhatiin The Rock yang pulas tidur seperti bayi.
"Jangan-jangan dia sampe rumahnya masih nerusin molor?" Lurie enggak mood tetap di dalam mobil.
"Mendingan kita cari tumpangan lain aja, Lex. Gue tetep pengen ngerayain valentine bareng Tom Cruise ama Katie Holmes. Atau siapa tau kita bisa ketemu Brad Pitt ama Angelina Jolie?"
"Oke." Alex setuju. "Lagian The Rock sepertinya gak peduli hari ini valentine apa enggak."
©00
Kala mobil limousine berhenti di sebuah perempatan besar, Alex dan Lurie menyelinap keluar. Hari sudah mulai terang. Tapi kehidupan Los Angeles belurn sepenuhnya menggeliat. Jalan masih sepi dengan orang yang lalu-lalang.
Ini rupanyakawasan SunsetStrip, tempatorangLAmenghabiskan malam dengan clubbing atau sekadar kongkow-kongkow.
Perhatian Lurie tersita kepada sepasang remaja yang tampak begitu mesra di dalam sebuah mobil Ferari berwarna merah menyala yang kapnya terbuka. Cowok di dalam mobil mengenakan kemeja biru bergaris ditutupi semi jas. Ceweknya yang berambut blonde sebahu pakai overcoat pink yang manis.
"Lihat, Lex. Keren banget." Lurie mengagumi pasangan itu. Kalau di Indonesia pasti keduanya sudah beken jadi pemain sinetron karena wajah dan penampilan yang amat mendukung.
"Keren apanya? Mobilnya?"
"Semuanya. Mobilnya, orangnya."
Alex enggak terlalu memikirkan kekaguman Lurie pada pasangan itu. Pikiran Alex berkelana ke suatu saat di Indonesia. Lima tahun yang lalu. Saat dia dan Lurie hendak merayakan valentine.
"Mereka pasti mau ngerayain valentine hari ini, Lex. Gue penasaran seperti apa acara valentine mereka entar."
"Lo mau ngikutin mereka?"
Lurie tersenyum, tapi seperti menahan kesedihan. "Daripada kita nyari di mana Torn Cruise ama Katie Holmes gak ketemu? Ayolah, Lex. Mereka mirip seperti kita lima tahun yang lalu kan?"
Hati Alex tersentuh. Lima tahun yang lalu....
"Jangan kelamaan mikirnya! Mereka keburu pergi!"
Lampu lalu-lintas merah berubah hijau. Mobil Ferari itu melaju lures ke jalan di depannya.
"Lo sih kelamaan," Lurie mengomeli Alex. "Padahal, gue pengen banget melihat kemesraan mereka berdua merayakan valentine...." Lurie tak melanjutkan kalimatnya. Matanya menerawang ke depan.
Alex dan Lurie tak melihat kejadian di jalan depan mereka. Dari sebelah kiri jalan, mendadak muncul sebuah jaguar hitam melaju kencang. Namun jalannya oleng. Mobil Ferari merah yang hendak terus membuat pengemudi jaguar hitam kaget dan tak kuasa mengerem.
Terdengar bunyi benturan dahsyat kala kedua mobil saling beradu.
Alex dan Lurie melongo.
"Yuk, lihat!" Alex berlari diikuti Lurie.
Mereka melihat kedua mobil sudah ringsek. Kaca mobil Jaguar pecah berantakan. Bagian depannya rusak parah. Sementara sisi kin depan mobil Ferari ringsek berat.
Orang-orang berdatangan menolong.
Namun di perempatan Cilandak, Baleno yang dikendarai Alex ditabrak dari depan oleh sebuah metromini yang ngebut.
Alex dan Lurie menangis saat mereka sadar sudah meninggal.
"Meski belum sempat merayakan valentine kita yang pertama, tapi kita masih bisa merayakannya, Lex."
"Setiap tahun, kita akan merayakannya, Lur."
"Setiap tahun, kita akan selalu bersama, Lex."
Ya, setiap tahun mereka selalu bersama dalam suasana valentine.
Valentine forever.